- Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
- Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
- Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia langsung dari Arab.
- Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
- Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
- Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
- Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
- Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
- W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
- T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
- Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
- Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)
- Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
- Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M.
- K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
- J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
- Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
- Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari : H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh
Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur
Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar:
<!–[if
!supportLists]–>1. <!–[endif]–>Pertama,
teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui
peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia
langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad
ke-7 M.
Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran
para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum
ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Jika
teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam.
Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina.
Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia
berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata
mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck
Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya
tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E.
Morison. Pijnapel,
seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, mengemukakan teori ini
pada tahun 1872. Menurut Azyumardi Azra teori ini diambil dari terjemahan
Perancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah.
Kesimpulan catatan Sulaiman menyebutkan bahwa Islam di Asia Tenggara
dikembangkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan
Malabar di India. Oleh karena itu, menurut teori ini, Nusantara menerima
Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut
teori ini tidak menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya.
Sebagaimana dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari
orang-orang Arab yang bermazhab Syafii yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar.
Pijnappel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh
orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada
hakekatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah
bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India
dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan
lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam
di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini
tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir
barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan
bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa
oleh orang-orang Arab.
Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia
berpendapat bahwa, ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di
beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan
tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah
dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata Hurgronje, datang ke dunia
Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul
kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan
Nusantara menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di
Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India berada di antara
Nusantara dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang
Muslim Arab dan juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai
Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan Hurgronje, hanya saja ia
menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai
waktu kedatangannya, Hurgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak
menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang dipandang sebagai tempat
asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni
abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di
Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu dan
tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi Hurgronje terlalu
lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India
disampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam
sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia
menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara.
Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang
antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat
dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan
dengan nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari
kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut pengamatan
Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang
terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya
bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia menjelaskan aspek
ruang kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan
didukung data yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses
Islamisasi di Gujarat. Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru
diislamkan satu tahun setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada
saat bersamaan penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa
Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai
mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya Stutterheim menyebutnya
sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, misalnya perkembangan
Islam pada abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di
Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah
Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan Stutterheim
mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.
Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan
membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat.
Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan
batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M) di Gresik Jawa
Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan
yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut
meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian,
Islam di Indonesia, menurutnya, berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini
kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.
Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak
benua India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires.
Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam berasal
dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires berpendapat bahwa
kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan
mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh Fatimi
menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari
arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam),
Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad
ke-11 M. Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah
bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran
Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang masih
dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari
Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India,
Fatimi menentang keras pendapat ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh
batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang
keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu
nisan al-Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia
berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di
Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Benggal,
bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk membangun teorinya
yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat
kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan mazhab fikih yang dianut
muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab
Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori
Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif,
mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah asal Islam di Nusantara
dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun teorinya
berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di Nusantara
dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal Menurutnya, kemiripan
tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang dari
daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan
riwayat Melayu dan laporan Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika
raja Pasai pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan
Hindu. Cambay, Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada
699 H/1298 M. Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah
menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian, memperkuat pendapat Arnold
yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal kedatangan
Islam ke Nusantara. Arnold mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu
Battutah ketika mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan
pada kesamaan mazhab fikih di antara keduanya, yaitu Syafiï.
Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal
langsung dari Mekkah antara lain dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer
(1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia
Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya Hamka, A.
Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan,
bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian
penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan
unsur-unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan
secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Lebih
lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai
India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat
khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur Tengah
atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa
kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari
Arabia sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta
tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu
kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa
ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri
dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan
perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang
menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut
Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya)
serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M).
Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih
tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat
sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam di Nusantara,
seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar Masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20 Maret
1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan 25-30
September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa
Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini
memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab sebagaimana
ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan
Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke
Nusantara(kebanyakan adalah dari Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli
Islam di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam
pertama kali dilaporkan oleh seorang agamawan dan pengembara terkenal dari
Cina, bernama I-Tsing. Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang
kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari Kanton dan berlabuh di pelabuhan
muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi
sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai Palembang,
ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal yang
sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara geografis,
letak Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh
besar terhadap dunia luar. Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah
kekuasaannya, misalnya perubahan politik di India yang saat itu di bawah hegemoni
Buddha, menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan
pilihan. Ini menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan Buddha di
Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam
perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya
sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini
sebelum mereka melanjutkan pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat
keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan. Kondisi ini
memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk agama Islam.
Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para pengungsi
Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah terjadi kerusuhan di sana,
mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari suaka politik dari
penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam berasal dari Arab
yaitu :
Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis
al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah
banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya
Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas
Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di
lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan
masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana
pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya
kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada
kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan
mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain
<!–[if
!supportLists]–>1)
<!–[endif]–>Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan
syiah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar
dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada
310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga
memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
<!–[if
!supportLists]–>3)
<!–[endif]–>Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf
Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena
bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini
berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu
kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah,
Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk
menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para
pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
- Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
- Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
- Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina.
Teori ini sangat lemah, namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat
besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para wirausahawan,
hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin
Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho
merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama besar Cina setelah dipermalukan
oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah
Indonesia.
Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari
Cina antar lain :
- Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
- Beberapa makam Cina muslim.
- Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari
beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan
pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang
penuh toleransi (Umar kayam:1989).
Berbicara tentang sejarah tentu tidak akan terlepas dari
beberapa aspek yang melingkupinya ia tidak sekedar mengungkapkan kuantitas dari
data-data yang diperoleh di lapangan, namun berusaha mengungkap hal-hal
mendasar dibalik terjadinya proses sejarah tersebut, terutama segala aspek yang
menyangkut sosiologi, politik dan budaya sebagai proses menuju perbaikan.
Berdasarkan berbagai paparan sejarah masuknya Islam di nusantara, kita bisa
mengambil ibroh atau pelajaran berharga tentang dakwah Islam yang dilakukan
oleh pata pendahulu kita. Keuletan dan kegigihan para juru dakwah yang berasal
dari berbagai tempat dalam menyampaikan ajaran Islam mampu menjadikan
negara Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadikan sebuah
prestasi yang gemilang bagi mereka para juru dakwah di Nusantara. Hal ini
tentu menjadi teladan dan semangat bagi kita semua untuk mempertahankan
prestasi tersebut dengan mensyiarkan Islam lebih luas.
WALI SONGO
Walisongo
Periode Pertama
Pada waktu Mehmed
I Celeby memerintah kerajaan
Turki, beliau menanyakan perkembangan
agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat
kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit
dan Pajajaran.
Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga
pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota
pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat
kepada pembesar Islam di Afrika Utara
dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk
dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta
memiliki karomah. Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH.
Mohammad Dahlan,[1]
majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari
beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan,
namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau
karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota
majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya. Pada tahun
808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka
adalah:
- Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
- Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
- Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
- Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
- Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
- Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
- Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
- Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
- Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan Gresik
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22
dari Nabi
Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid
Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana
Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang
kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang
terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain
Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad
Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid
Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad
Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal
Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib,
binti Nabi Muhammad RasulullahIa diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan Ampel
Sunan
Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi
Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa
Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin
Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali
Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid
Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin
Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin
Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh
para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan
merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah
dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban
bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti
Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan
Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden
Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel
dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid
Ampel, Surabaya.Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan Bonang
Bonang, sederetan gong kecil diletakkan horisontal.
Sunan
Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri
adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian
untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai
penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering
dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah
dengan memasukkan rebab
dan bonang, yang
sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra
bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut
G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung
ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.Sunan Drajat
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan Drajat
Sunan
Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri
adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada
masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan
Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa
Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan
sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium
Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.Sunan Kudus
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan Kudus
Sunan
Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah
Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka
binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi
Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah
bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin
Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus
memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan
Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid
Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum
penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan
Prawoto penguasa Demak, dan Arya
Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal
ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam.
Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.Sunan Giri
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan
Giri
Sunan
Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari
Nabi
Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari
Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri
Kedaton, Gresik;
yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan
Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya
yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah
Lombok dan Bima.Sunan Kalijaga
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan Kalijaga
Lukisan Sunan Kalijaga
Sunan
Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau
Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan
Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah, antara lain kesenian wayang
kulit dan tembang suluk.
Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap
sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah
dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti
Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.Sunan Muria (Raden Umar Said)
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan Muria
Sunan
Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra
dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq.
Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria
adalah adik ipar dari Sunan Kudus.Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Sunan Gunung Jati
Lukisan Sunan Gunung Jati
Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah
putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain
Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak
dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati
mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan
kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi
cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad
Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul
Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’
Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin
Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain
Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong
II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita
rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[3]
0 comments:
Posting Komentar